Kasus BLBI Mega Korupsi yang Terjadi di Indonesia

Kasus BLBI Mega Korupsi yang Terjadi di Indonesia

Korupsi Kolusi dan Nepotisme adalah keresahan yang masih menjadi momok bagi bangsa Indonesia. Perbuatan curang dan merugikan negara dan masyarakat ini masih terus terjadi. Bahkan tidak hanya terjadi pada pemerintahan pusat, melainkan sudah terjadi pada level pemerintahan paling bawah. Seperti baru-baru ini muncul pemberitaan ada oknum kepala desa melakukan korupsi terhadap dana desa untuk membeli mobil pribadi, atau pejabat pemerintahan yang pamer kekayaan di media sosial. Tindakan-tindakan seperti itulah yang membuat masyarakat semakin apatis terhadap pemerintahan dan juga politik di Indonesia.

Pada beberapa kasus korupsi yang terjadi di Indonesia mendapat sorotan dari media dan masyarakat. Sorotan yang dituju bukan hanya untuk pelakunya, tetapi tentang seberapa besar negara mengalami kerugian atas tindakan korupsi yang dilakukan oleh pelaku. Ada beberapa kasus korupsi yang menyita perhatian publik karena merugikan negara hingga puluhan triliunan rupiah.

Kasus Korupsi BLBI

Kasus Korupsi BLBI atau Bantuan Likuiditas Bank Indonesia merupakan kasus korupsi terbesar yang pernah terjadi di Indonesia. Bahkan, pengusutan kasus mega korupsi ini pun memakan waktu yang cukup panjang.

Tahun 1998

Dikutip dari Harian Kompas, pada saat krisis moneter tahun 1998, banyak bank di Indonesia mengalami kesulitan likuiditas. Melalui Bank Indonesia, pemerintah kemudian mengucurkan uang negara yang diperuntukan sebagai pinjaman bank-bank tersebut. Pinjaman itulah yang kemudian disebut dengan BLBI.

Dana yang disalurkan dari BI ke BLBI sebesar Rp. 147,7 triliun kepada 48 bank. Salah satu bank yang menerima kucuran dana tersebut adalah Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), yakni senilai Rp. 47 triliun. Dana tersebut dilakukan melalui Master Settlement Acquisition Agreement atau MSAA, yang kemudian BPPN mengambil alih saham dan pengelolaan BDNI.

MSAA mencantum jumlah utang BDNI kepada pemerintah sebesar Rp. 47,2 triliun, dikurangi aset BDNI sebesar Rp. 18,85 triliun, di dalamnya juga termasuk piutang BDNI kepada petambak udang Dipasena Lampung sebesar Rp. 4,8 triliun. Aset piutang tersebut disebutkan Sjamsul Nursalim sebagai aset yang lancar dan tidak bermasalah. Setelah dilakukan investigasi, diketahui bahwa aset piutang tersebut merupakan kredit macet, sehingga Sjamsul Nursalim dianggap melakukan misrepresentasi. BPPN memintanya untuk mengganti dengan aset lain untuk membayar utang BLBI, namun ditolak oleh Sjamsul Nursalim.

Tahun 2003

Pada tahun 2003 BPPN menggelar rapat dengan pihak Sjamsul Nursalim yang diwakili oleh istrinya, Itjih Nursalim untuk menyelesaikan masalah aset piutang petambak Dipasena. Itjih Nursalim juga mengatakan hal yang sama, bahwa aset tersebut tidak bermasalah dan mereka tidak melakukan misrepresentasi.

Tahun 2004

Masalah BDNI menjadi polemik yang kemudian jadi penyelidikan kasus korupsi di kemudian hari, adalah pemerintah pada saat itu mengeluarkan Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim.

Pada era kepemimpinannya, Presiden Megawati Soekarnoputri menyetujui pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada debitur penerima BLBI. Ketua BPPN Syafrudin Arsyad Temenggung menandatangani surat SKL-22/PKPS-BPPN/0404, perihal pemenuhan kewajiban pemegang saham BDNI yang membuat hak tagih atas petambak Dipasena hilang. Karena penerbitan SKL tersebut Syafruddin divonis 15 tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.

BPPN menyerahkan pertanggungjawaban aset hak tagih Dipasena kepada Kementerian Keuangan yang kemudian diserahkan ke PT Perusahaan Pengelola Aset (PR PPA). PPA menjual hak tagih piutang Dipasena sebesar Rp. 220 miliar, padahal kewajiban Sjamsul Nursalim yang seharusnya diterima negara adalah sebesar Rp. 4,8 triliun.

Tahun 2019

Putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) Syafruddin selaku penerbit SKL dinyatakan bebas dan tidak bersalah. Menurut majelis, tidak ada tindak pidana yang dilakukan Syafruddin dalam menerbitkan SKL.

Tahun 2021

KPK mengajukan peninjauan kembali vonis lepas Syafruddin ke MA pada 17 Desember 2019. Tetapi, upaya hukum luar biasa tersebut ditolak oleh MA pada juli 2020. Karena tidak ada upaya hukum lainnya, maka KPK memutuskan untuk mengeluarkan penghentian penyidikan (SP3) atas kasus BLBI.

Tahun 2022

Pada tahun 2022 Sjamsul Nursalim melalui kuasa hukumnya melakukan pelunasan utang BLBI untuk Bank Dewa Rutji. Sedangkan untuk utang BLBI dari bank BDNI masih terus ditagih hingga saat ini.

Intinya tindakan korupsi bukanlah tindakan yang baik harus ditiru dan dilestarikan. Perbuatan tersebut selain merugikan negara juga merugikan masyarakat. Sehingga jangan sampai tergoda dengan kesempatan untuk bisa korupsi. Salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan memiliki sikap integritas dan antikorupsi. Karenanya, yuk perbanyak informasi mengenai sikap anti korupsi dengan mengunjungi website https://aclc.kpk.go.id/.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *